Sabtu, 20 April 2019

Jangan jadi buih..


Berdasarkan quick Count pemilu 2019 ini partai islam seperti PKB, PKS, PAN, PPP, hanya 29,13%. Tahun 2014, total perolehan suara mereka 28,07%. Sementara PBB sama dengan pemilu sebelumnya. Gagal masuk Senayan. Apa artinya ? Sebetulnya tidak ada perubahan peroleh suara mereka. Padahal gerakan islam selama Jokowi berkuasa begitu hebatnya. Berkali kali aksi pengerahan massa dilakukan secara kolosal. Setiap hari di masjid dan majelis taklim tidak ada hari tanpa ujaran kebencian kepada partai nasionalis termasuk kepada Jokowi. Walau PPP dan PKB tidak melakukan itu namun dampaknya terhadap PKS juga tidak banyak. Hanya 2% penambahan suara. Itupun karena PSI terpancing offset terhadap umat islam sehingga dimanfaatkan oleh PKS untuk menarik emosi pendukungnya militan.

Yang sangat miris adalah nasip PAN. Padahal PAN dengan ketokohan Amin Rais yang bersama FPI dan alumni  212 paling inten melakukan gerakan aksinya turun kejalan dan mengendalikan masjid. Tapi justru terpuruk suaranya sebesar 2%. Apakah Gerindra diuntungkan dengan adanya PKS dan PAN?  Pemilu 2019, Gerindra dapat suara 12,82 %. Sementara tahun 2014 suaranya 11,81%. kalau tingkat error 1-2 % hasil quick count maka sebetulnya tidak ada perubahan suara yang diperoleh oleh Gerindra. Kesimpulannya berteman dengan PKS dan PAN, Gerindra dapat pepesan kosong. Padahal Gerindra keluar ongkos tidak sedikit. Sementara PKS dan PAN praktis engga keluar ongkos dalam koalisi.

Gimana dengan PDIP yang merupakan partai Idiologi dan sekaligus pemenang pemilu 2014 ? Pemilu 2014, PDIP dapat suara 18,95%. Tahun 2019 ini menurut quick count suara PDIP hanya 20,22%. Terjadi peningkatan suara sekitar 2%, yang sebetulnya tidak significant bila dibandingkan kerja keras Jokowi merealisasikan program nawacinta PDIP. Apa artinya ? Program nawacita itu memang tidak instant dirasakan oleh rakyat luas. Butuh proses panjang setidaknya dua periode Jokowi berkuasa. Dari itulah peluang narasi kampanye identitas masih bisa dimanfaatkan oleh partai islam. Namun mereka juga tidak bisa sepenuhnya mempengaruhi massa islam untuk menggeser posisi PDIP.

Dari hasil Pemilu 2014 dan 2019 seharusnya jadi pelajaran berharga bagi semua Elite partai agar focuslah kepada pembinaan konsituen nya. Jangan lagi pendekatan kepada politik emosional tetapi pendekatan educational. Fakta membuktikan cara emosional itu benar benar wasting time. Setelah pemilu ini, seharusnya mulailah membuat rencana menyeluruh reorientasi partai berbasis ekonomi kerakyatan. Untuk Golkar sudahi hidup dari menimang nimang patron untuk dapatkan suara. Faktanya suara golkar jatuh kok 2019 ini. Untuk PKS, PAN, PKB, sudahi kebiasaan menimang nimang ulama kedalam politik. Useless kok.  saatnya focus kepada pendidikan politik lewat program perberdayaan ekonomi keumatan. 

Yakinlah , pada akhirnya partai akan dipilih karena ia punya rekam jejak  bersih dan  dekat ke rakyat dalam program ekonomi kemandirian. Tidak perlu partai terlibat dalam ekonomi secara langsung tapi aktif mengadvokasi rakyat mendapatkan akses permodalan, legalitas, pemasaran dan keadilan dalam persaingan bisnis. Tahun 2024 adalah ajang pemilu yang sangat sengit. Karena capres terbuka bagi semua. PDIP yang perolehan suara diatas 20%, tidak perlu koalisi untuk mengusung capresnya, tetapi partai Islam butuh koalisi. Tanpa persatuan dan perubahan paradigma politik, jangan salahkan bila akhirnya tetap calon dari PDIP yang terpilih lagi jadi presiden. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Ekonomi kita " agak laen"

  SMI mengatakan ekonomi kita agak laen. Karena banyak negara maju pertumbuhannya rendah, bahkan seperti Jepang dan Inggris masuk jurang res...