Senin, 10 Desember 2018

Mereka yang ingin menjatuhkan Jokowi.


Ketika awal Jokowi berkuasa, teman saya mengatakan bahwa yang paling berbahaya secara politik adalah sikap Jokowi yang ingin memaksa Freeport mengakhiri KK dan patuh kepada UU minerba. Karena ini menyangkut kepentingan AS yang 5 presiden sebelumnya tidak mampu menghadapi. Apalagi Jokowi bukan presiden yang pemimpin Partai, yang tentu tidak punya kekuatan terorganisir di akar rumput menahan gejolak serangan politik dalam negeri.  Benarlah. Tahun 2015 suhu politik memanas dengan munculnya skandal “ Papa minta saham” yang berkaitan dengan Dirut PT. Freeport Indonesia dan Setya Novanto bersama Murez.   Isi rekaman itu menyeret nama nama  mantan presiden sebelumnya yang terlibat dalam konspirasi tingkat tinggi.  Setya Novanto lolos dari kasus ini karena dia tidak mau bersaksi atas isi rekaman itu. Secara tidak langsung Novanto menyelamatkan muka para presiden sebelumnya. Tanpa operasi intelligent Asing tidak mungkin rekaman yang sudah setahun lebih muncul lagi kepublik dan membuat gemetar elite politik. ini seakan sinyal kepada Jokowi bahwa jangan main main dengan Freeport. Apakah itu cukup ? Belum.

Pada bulan Februari 2016, Kapal selam AS berkekuatan nuklir mendekati perairan Indonesia. Ini provokasi yang berbahaya. Jokowi telah memerintahkan TNI AL harus tanpa ragu menjaga teritori Indonesia. Makanya Tim reaksi cepat Western Fleet Quick Response (WFQR) TNI AL dipiloti Kapten Laut (P) S Hayat dan Lettu Laut (P) Asgar Serli bergerak cepat menuju wilayah perairan Nongsa, Batam. Pusat Penerbangan TNI AL yang bermarkas di Tanjungpinang harus melaksanakan prosedur tetap dalam Standar operasi tempur untuk menjaga teritory Indonesia. Berita ini tidak begitu di perhatikan oleh Publik. Padahal saat itu prajurit TNI berhadapan dengan Angkatan laut AS yang menggunakan Kapal selam modern untuk mendekati perairan Indonesia. Saya yakin apalah arti kekuatan Helikopter Helikopter BO 105 nomor lambung NV-408, di bandingkan dengan kekuatan angkatan laut AS. Tapi prajurit TNI tanpa sedikitpun ragu terus me shadow kapal selam itu untuk segera menjauh dari perairan Indonesia. Selesai? belum. Masih ada lagi…

Di penghujung tahun 2016 atau bulan november terjadi aksi massa umat islam yang dikenal dengan gerakan GNMF MUI untuk memenjarakan Ahok yang dituduh menistakan agama. Namun sebetulnya diarahkan untuk menjatuhkan Jokowi. Terbukti dalam aksi 411 ratusan ribu orang berdemontrasi mengepung istana negara. Aparat dengan kesetian tinggi kepada Presiden berhasil menjaga ketertiban demo tersebut walau sempat terjadi gesekan dengan aparat.  Selesai? belum. Sebulan kemudian diadakan lagi aksi 212, tujuan tetap sama memenjarakan Ahok dengan target Istana negara. Kali ini Jokowi datangi peserta demo dengan percaya diri, dan memastikan dia tidak takut dan dia bukan musuh umat islam. Apakah itu cukup? Belum. 

Pada saat hari Pilkada DKI, Kapal induk bertenaga nuklir milik Amerika Serikat (AS) USS Carl Vinson memasuki wilayah Indonesia  dengan alasan mengawal kunjungan Wakil Presiden AS Mike Pence ke Indonesia. Kunjungan dengan kawalan berkekuatan besar ini secara tidak langsung AS menerapkan smart power terhadap Indonesia. “ Kamu jangan coba coba melawan saya “. Pada bulan itu memang sedang dilakukan perundingan dengan Freeport. Jokowi menghadapi tekanan itu dengan tenang. Dalam pertemuan dengan Jokowi, Mike tidak menyinggu gsoal Freeport. Teman saya mengatakan, Mike terkesan bahwa Jokowi bukan musuh. “Dia pria yang baik yang tahu mencintai negerinya. Dia sangat mencintai negerinya. Tidak sama dengan presiden sebelumnya. Tidak ada kekuatan yang bisa menjatuhkan Jokowi. Dia terlalu kuat. Semua untuk negeri yang dia cintai...” 

Provokasi AS di perairan Indonesia dan adanya pressure group sebagai proxy AS yang membuat stabilitas politik dalam negeri terganggu, menguatkan argumen para elite politik dan Jenderal bahwa berhadapan dengan kepentingan AS di Indonesia sangat berbahaya.Tahun 2017, Prabowo mengatakan bahwa Indonesia harus menghormati kepentingan AS.  Bahkan Prabowo sampai mengingatkan pemerintah Jokowi bahwa Amerika Serikat pernah membantu bangsa Indonesia pada beberapa hal. Tentu ini berkaitan dengan kekisruhan perundingan dengan Freeport. Sikap Jokowi sudah jelas sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kewajiban divestasi hingga 51 persen. Sikap ini dipegang dengan konsisten. 

Teman saya bilang bahwa bukan hanya AS yang dibuat Jokowi tidak berdaya. China juga merasakan sikap keras Jokowi. Dalam pertemuan APEC di Beijing,  Jokowi dengan tegas akan memberikan ruang ALKI kepada AS. Dengan demikian tidak berdesakan dengan China di Malaka. Untuk itu Jokowi akan membangun pelabuhan check point di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi. Waktu itu baik China dan AS setuju untuk mengakhiri konplik laut china selatan. Atas kesepakatan itu China merasa aman dengan program OBOR untuk menghubungkan China ASEAN. Pembangunan kereta logistik digelar dari Guangxie melalui Vietnam, Thailand, Malaysia Singapore dan rencana dengan jembatan laut Malaka akan terhubung dengan Indonesia ( Dumai ). Saat sekarang jalur kereta sudah sampai di Malaysia. Dan sedang membangun tunel ke Singapore. Sementara AS sedang memperkuat investasi explorasi gas di blok santa fee dan marsela ( laut Arafuru- Maluku ) dan Mahakam, kalimantan timur. Tetapi dalam perjalanannya Jokowi tidak pernah komit dengan kesepakatan APEC itu.

Jokowi tidak menanggapi proposal jembatan Selat Malaka yang menghubungkan Dumai dengan Malaka. Padahal proyek itu sudah dapat izin prinsip dari pemerintah SBY. Program Toll laut Jokowi bukannya mendukung OBOR malah bersaing dengan OBOR. China pusing. Bagaimana dengan AS? Blok Mahakam di take over oleh Pertamina awal tahun ini dan Blok marsela di bangun di darat dan sekarang justru Jokowi akan membangun pangkalan militer di Kepulauan Arafuru. AS tambah pusing. “ Bagaimana mau kerjasama kalau tidak ada yang komit. Jokowi seenaknya mengabaikan komitment yang dibuatnya.” Kata teman konsultan Geostrategis kepada saya. Saya hanya tersenyum. Saya katakan kepada teman bahwa OBOR ( One Belt One Road ) tidak akan dapat peluang menyentuh Malaka sebelum Sumatera terkoneksi dengan toll laut maupun toll darat. Jokowi tidak mau mengorbankan Geostrategisnya untuk kepentingan asing. Janji China akan menggelontorkan dana USD 30 miliar untuk jalan toll Sumatera dan toll laut , nyatanya hanya 10% saja cair. Mau komit gimana? Amerika juga sama, engga ada niat baik menyelesaikan masalah Freeport dengan mulus. Mau komit gimana ? Saya rasa ini hanya pertimbangan fairly. Kalau mau bersinergi , China dan AS harus tunjukkan itikad baik. "Sekarang Indonesia, ada atau tidak ada china atau AS pembangunan jalan terus sesuai agenda. Agenda Jokowi untuk Indonesia", kata saya. 

“ jadi apa usul kamu ?" Kata teman sambil mengerutkan kening. 
"Menurut saya, china selesaikan aja komitment membiayai jalan toll Sumatera dan toll laut, dalam koridor B2B. Kemudian AS gunakan Jepang dan Eropa bangun koneksitas Kalimatan dan Sulawesi. Dukung penyelesaian masalah freeport. Nah kalau itu semua udah selesai, Jokowi akan komit. Mengapa ? Karena kalau infrastruktur terbangun, Indonesia juga siap bersaing atas program OBOR nya China dan Grand Pacific nya Amerika. Kan engga mungkin Indonesia hanya jadi penonton.”
“ Wah saya yakin Jokowi akan gagal Pilpres 2019. Terlalu banyak musuh. Apalagi proxy China dan AS ada disemua Partai. “ kata teman. Saya hanya tersenyum. Memang perjuangan mempertahankan NKRI itu tidak mudah. Mengapa ? musuhnya bukan saja orang asing tetapi juga dari dalam negeri yang berkedok pengamat, tokoh agama, politisi, dan mereka tanpa rasa malu secara vulgar menunjukan keberpihakannya terhadap asing. Tidak ada mereka berdemo memberikan dukungan kepada Presiden dalam upaya nasionalisasi SDA kita. Bagi mereka bagaimana caranya agar agenda asing terkabulkan dan Jokowi jatuh, entah bagaimana caranya. Yang penting mereka dapat uang dan kekuasaan. 

“ Negeri kami merdeka berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Engga ada yang kami takuti dengan asing apalagi proxy kambing, proxy sapi, proxy kampret. Karena yang menjaga kami adalah Tuhan. Apakah ada yang lebih hebat dari Tuhan? “ kata saya. Engga percaya?  Nah , terbukti kini di penghujung tahun kekuasaan Jokowi,  Blok Mahakam, Blok Rokan dan divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia selesai dan Jokowi masih bisa tersenyum tanpa beban menyapa rakyat dengan gaya jenakanya. Belakangan AS dan China harus bermanis muka kepada Jokowi agar Indonesia berperan dalam proposal Indopacific dan tetap saja Jokowi menentukan arah proposal itu sesuai dengan kepentingan Indonesia. Sementara  Gerakan pressure group semakin kehilangan ide dan pijakan politik. Beberapa diantara mereka kini tersangkut kasus pidana dan mungkin ada yang hampir  gila karena ngoceh salah terus. Pemilu 2019 adalah panggung Jokowi, untuk periode kedua dengan dukungan penuh dari koalisi partai yang akan menguasai kursi  minimal 70% di DPR. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...