Kamis, 13 Desember 2018

Jokowi cerdas berutang..

"Sekarang saya dapat laporan sudah lebih Rp 5.000 triliun ya. Ini utang sektor publik sudah di atas 60%. Sekarang ditambah utang BUMN, it's worrying. Kita mestinya konsen, mestinya khawatir," kata Sandiaga Uno dalam diskusi bertema 'Selamatkan BUMN sebagai Benteng Ekonomi Nasional’. Apa yang dikawatirkan oleh Sandi ? “ Tapi kalau ada eksternal dan internal shock gimana, gimana kalau ada suatu perlambatan ekonomi, bagaimana kalau trade war berlanjut, gimana kalau komoditas anjlok luar biasa," ujarnya. Menurut saya apa yang dikatakan Sandi tidak mencerminkan dia sebagai seorang pria risk taker yang punya visi dan financial knowledge. Mengapa ? resiko itu pasti ada. Apalagi kalau kita berpikir hal yang mengkawirkan yang belum terjadi , itu akan semakin banyak yang dikawatirkan. Makanya perlu jadi orang itu smart. Biar engga kawatir melulu.

Tetapi baiklah saya akan ulas apakah yang menjadi kekawatiran Sandi itu masuk akal atau tidak? Sandi mengatakan bahwa utang BUMN sebesar Rp. 5000 triliun lebih. Itu utang akumalasi termasuk utang BUMN Perbankan yang memang bisnis jasa keuangan. Semakin besar dana pihak ketiga dibank semakin tinggi kepercayaan masyarakat kepada Bank dan semakin membuktikan bahwa ekonomi tumbuh dimasyarakat karena orang mampu menabung. Utang real yang berkaitan dengan aksi perusahaan untuk pengembangan bisnis adalah sebesar Rp.1980 Triliun. Bandingkan dengan asset BUMN yang hingga akhir tahun 2017 telah mencapai Rp 7.200 triliun. Jadi dengan aset sebesar itu dan utang real yang rendah, tidak ada resiko yang perlu dikawatirkan. 
Apakah utang itu akan membebani negara. Apakah resiko utang itu ditanggung negara ? Berdasarkan pelaksanaan riil, dari sekitar 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dipercepat oleh pemerintah di bawah komando Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), masih sangat sedikit yang dijamin pemerintah. Sejauh ini, tercatat dua BUMN yang mendapat fasilitas penjaminan pinjaman tersebut yakni PT PLN (Persero) terkait proyek listrik 35.000 MW dan PT Hutama Karya (Persero) terkait proyek pembangunan jalan tol Trans Sumatra. Dan lagi rasio penjaminan itu hanya 6% dari PDB atau masih dibawah pagu UU sebesar 10%. Artinya dari utang sebesar Rp. 1980 Triliun itu, jaminan pemerintah hanya 6%. Apakah itu mengkawatirkan?  Tentu tidak.
Bagaimana hutang BUMN perbankan yang mencapai sebesar Rp3.311 triliun?  Apakah beresiko ? dari total utang sebesar Rp3.311 triliun, sebesar Rp2.448 triliun atau 74%-nya merupakan komponen DPK. Apa itu DPK? dana tabungan dan rekening koran.  Ini tercatat sebagai utang tetapi bukan utang real. Itu justru jasa perbankan untuk dapatkan untung. Sebesar Rp335 triliun merupakan cadangan premi dan akumulasi iuran pensiun. Nah utang real dalam bentuk pinjaman dan surat berharga hanya sebesar Rp529 triliun. Bandingkan asset BUMN perbankan sampai Juni 2018, mencatat rata rata total aset Rp 2.945 triliun. Artinya utang itu dijamin oleh lebih 4 kali lipat aset. Dimana harus mengkawatirkan.
Pertanyaannya adalah mengapa BUMN harus berutang? Ya karena pemerintah engga cukup dana. 90% APBN habis untuk belanja rutin, investasi pendidikan dan daerah pinggiran luar jawa. Contoh tahun 2018 Kementerin Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendapatkan alokasi anggaran tertinggi yaitu Rp 104,7 triliun. Sisanya, anggaran tersebut dialokasikan melalui Kementerian Perhubungan sebesar Rp 44,2 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 33,9 triliun, serta investasi pemerintah baik itu lewat PMN maupun LMAN sebesar Rp 41,5 triliun. Pemerintah hanya mampu menyediakan 8,7% dana dari total kebutuhan di sektor infrastruktur. Nah sisanya adalah peluang bisnis bagi BUMN dalam skema PPP. Pemerintah  memberi penugasan kepada BUMN untuk membangun. Perhatikan besarnya peluang.  Pemerintah memperkirakan total investasi infrastruktur yang dibutuhkan sejak tahun 2014-2019 sebesar 450 miliar dollar AS atau lebih Rp 6750 T. Pemerintah tidak bisa menanti swasta melakukannya. Karana kemampuan swasta terbatas. Sementara pemerintah hanya focus membangun infrastruktur khususnya daerah yang tingkat komersialnya masih rendah, yang tida menarik secara perbankan.

Coba dech anda bayangkan. Anda hanya punya uang sebesar 8,7% dari kebutuhan dana yang seharusnya. Gimana caranya agar pembangunan tetap jalan. Apakah negara harus tarik utang untuk memenuhi semua biaya bangun infrastruktur ? tidak bisa. Karena utang negara dibatasi rasionya oleh UU. Jadi engga bisa  pemerintah sembarangan main utang begitu saja. Lantas bagaiman solusinya? Ya pemerintah menggunakan BUMN/Swasta melaksanakan misi membangun proyek tersebut. BUMN/Swasta tentu tidak bisa menyediakan sendiri uang sebanyak itu. Mereka lembaga bisnis. Tentu harus menarik dana dari luar.  Kalau swasta mungkin tidak ada aturan soal menari utang. Tetapi BUMN aturannya ketat. BUMN tidak bisa menggadaikan assetnya tanpa izin dari pemerintah. Pemerintah tidak bisa mengizinkan tanpa izin DPR. DPR tidak bisa mengizinkan bila melanggar UU. Sampai sekarang UU  yang mengatur rasio utang masih belum diubah. Makanya BUMN yang berhutang ke bank umumnya menggunakan skema non recourse loan atau EPC loan ( inkind loan ), yang sifatnya off balance sheet karena menggunakan SPC.

Namun untuk berhutang ke bank atau lembaga keuangan pun tidak mudah. BUMN harus dalam kondisi sehat secara financial. Makanya pemerintah menyehatkan dulu BUMN baru diberi tugas. Cara penyehatannya adalah melalui PMN ( penyertaan modal negara ) agar struktur permodalan BUMN semakin kuat sehingga feasible menarik pinjaman dari luar. Cukup? belum. pemerintah juga menyediakan skema PINA ( pembiayaan investasi non anggaran ) agar baik swasta maupun BUMN dapat lebih mudah berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur. Cukup ? belum. Pemerintah juga membuka kanal pasar uang melalui aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memungkinkan dana nganggur di Lembaga Keuangan non bank seperti Dana Pensiun, Asuransi, ditempatkan di pasar obligasi. Cukup? Belum. Pemerintah juga membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang  memungkinkan dana nganggur haji dapat ditempatkan di pasar obligasi infrastruktur. Sehingga akan mendorong terjadinya securitisasi asset atas proyek yang sudah dibangun. Dengan demikian terjadi leverage asset untuk mengeskalasi kemampun membiayai infrastruktur.

Saya tidak melihat skema financial engineering dari Sandi yang bisa meyakinkan membangun tanpa utang. Soal solusi yang dikatakannya untuk mengurangi utang lewat securitisasi asset. Itu bukan teori baru. Sudah diterapkan oleh Jokowi dan hampir semua BUMN infrastruktur telah melakukan itu. Makanya mereka bisa me leveraga asset yang ada untuk memperbesar kemampuan financial nya menerima penugasan dari pemerinntah membangun. Yang jelas semua proyek infrastruktur yang dibangun secara luas itu, rakyat ( APBN)  hanya menyediakan dana sebesar 8,7% dari total anggaran. Dan Jokowi mampu melaksanakan amanah itu dengan sempurna tanpa harus menepuk dada. Dia mampu memotivasi bawahannya untuk membangun value lewat trust dan profesionalitas. Tanpa itu engga mungkin bisa dapat financial resource dalam skema financial engineering yang smart. Semoga Sandi bisa memahami fakta daripada fiksi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...