Jumat, 03 Februari 2017

Memburu harta (28)


Di Changi Airport, Boy Steward sudah menanti. “Senang bertemu lagi denganmu, Boy.”
“Madam memintaku untuk menemuimu, Jak.” Kata Boy sambil memelukku.
“Oh, begitu?”
“Ya.” Boy tersenyum. “Kita akan tinggal di tempat yang sama. Ritz Carlton Hotel, ok?”
“Ok.”
“Bagaimana hari-harimu di Beijing?”
“Biasa saja. Selain menunggu, juga disibukkan dengan mempelajari e-banking dari team Naga Kuning.”
“Oh ya?”
“Ya. Sekarang aku menjadi lebih paham cara kerja Fed system.”
“Apa yang kamu tahu tentang itu?”
Aku menatap keluar jendela mobil. “Banyak sekali.”
Boy melirikku. “Banyak? Sebutkan contohnya.”
“Euroclear di London menggunakan aturan clearing ‘fund first’.  Sementara DTCC di New York menggunakan aturan clearing ‘collateral first’. Trader yang terlibat dalam sebuah transaksi menggunakan dua sistem clearing ini. Pada waktu membeli, dia menggunakan aturan DTCC dan ketika menjual dia menggunakan Euroclear. Dengan demikian dia dapat membeli tanpa harus keluar modal tunai terlebih dahulu. 
Cukup dengan bukti dana atau aset di rekening DTCC sebagai collateral, dia sudah bisa melakukan perdagangan. Sementara laba dapat dipastikan ada di tangan, karena dia tidak akan membeli sebelum menjual. Di sinilah resiko menjadi nol. Sebuah sistem yang sangat canggih, yang mampu melipatgandakan uang dengan cepat dan fantatis. Itulah mengapa dilakukan dengan sangat rahasia. Karena ini adalah konspirasi antar clearing house.” 
“Untuk orang awam sepertimu, bisa dengan cepat memahami transaksi ini sangatlah luar biasa,” puji Boy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Suatu saat, bila kamu berniat mencari konsultan di bidang ini, aku siap melamar,” lanjut Boy tertawa.
“Ya! Aku juga punya banyak hal yang ingin kutanyakan padamu, Boy.” 
“Aku selalu siap membantu, Friend!” Aku tersenyum dan menepuk bahu Boy. “Ini ada sesuatu untukmu,” kata Boy menyerahkan sebuah amplop.
“Apa ini?”
“Nanti kita bahas di hotel.” Boy menatap kaca spion, mengawasi bagian belakang mobil. Memperhatikan dengan awas.
Sesampai di kamar hotel. Boy memberi isyarat menutup mulut dengan dua jari. Aku mengerti, itu artinya tidak boleh ada suara. Boy keluar dari kamar dengan membawa sebuah tas kecil. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah alat mirip VCD dengan antena kecil di atasnya. Alat itu kemudian ia sambungkan ke listrik. Tombol-tombol di sekitar alat itu serta merta menyala. Tak berapa lama terdengar suara berdengung agak lama. Kemudian berhenti. Boy menoleh padaku sambil tersenyum. “Sekarang kita bisa bicara.”
“Alat apa itu?”
“Oh ini alat anti sadap. Mampu menangkis gelombang radio sampai 40 mil. Artinya kalau ada orang menempatkan alat penyadap di ruangan ini atau di mana saja, mereka tidak akan mendapatkan sinyal apapun.”
“Bagaimana kalau alat penyadapnya menyatu dengan telepon?”
“Juga tidak akan berfungsi. Karena alat penyadap mengeluarkan gelombang elektromagnetik untuk menangkap suara. Dan alat ini mengaburkan gelombang itu.”
“Kalau memang ada orang berniat menyadap kita, mereka tentu akan curiga bila alatnya tidak berfungsi.”
“Mereka tetap dapat mendengar suara. Tapi suara lagu yang terdengar samar-samar.”
“Mengapa harus pakai alat anti sadap segala?” aku bingung.
“Ini Singapore, beda dengan Hong Kong. Di sini, group Fidelity memiliki akses tak terbatas dengan pemerintah. Beda sekali dengan Hong Kong di mana Cina tidak pernah mau berteman dengan mereka.”
“Oh.”
Boy berdiri menarik gorden warna putih untuk menutupi jendela kamar. Kemudian melangkah mendekatiku. “Bukalah amplop itu.” Aku membuka amplop. “Apa ini?”
Di tanganku ada sebuah kartu bisnis, dengan nama Michael Tom, seorang Investment Banker. Juga tertera alamat lengkap di Nassau. Ada pula selembar Bank Draft  senilai USD 100 juta.
“Dokumen itu akan menuntun Anda masuk ke dalam bank terkemuka di sini.” 
Boy lalu duduk berhadapan denganku. “Bank itu terhubung langsung secara online dengan database Fed system. Tugasmu adalah, gunakan LAN access yang ada di bank itu untuk masuk ke back office sistem komputer mereka. Setelah itu gunakan kode akses decade asset yang kamu punya.”
“Bagaimana mungkin mereka mengizinkan aku menggunakan LAN access itu?”
“Tentu tidak mungkin kalau kamu minta izin,” jawab Boy menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih.
“Maksudmu?”
“Masuklah secara diam-diam dan keluar dengan diam-diam pula.”
“Wah, resikonya besar sekali. Kalau sampai ketahuan, mereka akan menuduhku berencana merampok bank,” aku mundur selangkah, begidik ngeri. “Ini gila! Mengapa harus begini?”
Boy memegang tanganku. “Jak, tidak ada yang memaksamu melakukan ini. Kalau kamu tidak siap, ya kita lupakan saja.”
Aku tersentak dengan kata-kata Boy. Aku menatap matanya dengan seksama. Tidak terlihat sama sekali pemaksaan dan niat terselubung apapun untuk memperalatku. “Tapi,” lanjut Boy memegang pundakku. “Ini adalah cara paling efektif setelah team Naga Kuning gagal mengakses Fed system melalui portal. Kamu tahu kan, apa yang terjadi di Hong Kong setelah kamu mengakses Fed system?”
Aku tertunduk dalam, menatap lantai hotel yang bersih. Pikiranku melayang membayangkan wajah Lien dan beberapa pengawal yang meregang nyawa dengan dada berlubang. “Andai pun kamu tidak bersedia meneruskannya, maka kamu dapat pulang besok. Masalah ini selesai. Kamu bisa lupakan ini semua.”
“Tapi bila aku gagal lagi mengakses?” potongku. Boy berhenti meneruskan kalimatnya. “Kamu bisa keluar secara diam-diam. Kemudian kamu juga bisa pulang ke rumah untuk melupakan masalah ini. Mereka tidak akan pernah tahu keberadaanmu. Mereka hanya tahu, ‘orang dalam’ bank yang melakukannya,” kata Boy menguatkan.
Aku menghempaskan tubuhku di sofa. Kututup wajahku dengan telapak tangan, kemudian mengusap kepalaku. Untuk beberapa saat aku hanya bisa diam dan tak tahu harus berbuat apa. Kupejamkan mata sekedar untuk menahan gemuruh di dada. Namun, saat terpejam itulah, muncul wajah istri, anak-anak, Ester, Catty dan Lien, dan wajah orang-orang yang telah mengorbankan nyawanya, silih berganti membayang di pelupuk mata. Aku semakin gelisah hingga sayup-sayup kudengar sebuah bisikan.
Anakku,bila ada pesan datang kepadamu, maka terimalah takdirmu. Jemputlah hari esok dengan keberanian. Saatnya melawan tanpa ragu. Negerimu membutuhkan keadilan dan kemenangan dari peperangan yang sesungguhnya. Perang melawan kekufuran. Perang melawan kekuatan dari kegelapan. 
Soekarno adalah simbol perlawanan sejati melawan kekuatan kegelapan dari waktu ke waktu. Kamu harus melanjutkannya dalam bentuk lain. Di tanganmu ada kekuatan raksasa untuk mengalahkan musuhmu. Saya doakan perjuanganmu diridhoi Allah. 
aku terperanjat dan teringat akan kata-kata yang terngiang di telingaku. Suara itu adalah suara orang tua yang kutemui di Hobey. 
Aku berdiri dengan segenap keberanian yang kupunya. Menatap kedua mata Boy, yang telah menungguku lama. “Baiklah, aku siap masuk ke dalam bank itu. Kapan rencana ini akan dilaksanakan?”
Boy tersenyum lega. “Tunggu saat yang tepat. Kesiapanmu harus didukung dengan rencana yang matang.”
Aku mengerutkan kening. “Rencana apa lagi?”
“Aku akan melatihmu dengan sempurna agar dapat melaksanakan misi ini dengan aman.”
“Oh?!”
“Ya,” jawab Boy melangkah keluar kamar. “Istirahatlah. Besok kita mulai latihan.”
“Latihan?”
“Sampai besok, Jak.”
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Boy sudah datang ke kamarku.
“Jam 6 pagi, Boy?” sapaku menyambut kedatangan Boy yang datang dengan pakaian olah raga.
“Mari kita mulai latihan pagi ini.”
“Latihan apa?”
“Lari!” Boy tersenyum. Aku mengikuti Boy berlari menuju river side.  Baru sepuluh menit, aku sudah membungkuk dan akhirnya terduduk kepayahan. Boy mendekat, mengatakan sesuatu padaku yang bersimbah keringat. “Mulailah dengan lari santai. Tidak usah terburu-buru,” kata Boy sambil menepuk bahu.
“Aku tidak mengerti, untuk apa lari pagi ini? Bukankah kita akan masuk ke dalam bank secara diam-diam dan tanpa memancing kecurigaan?” tanyaku heran.
“Jak, misimu ini sangat penting. Sedikit saja kesalahan akan berakibat fatal. Banyak operasi gagal hanya karena fisik yang tidak prima. Kamu butuh konsentrasi dan ketenangan. Semua itu hanya bisa didapat, bila fisikmu sehat.” Aku menatap Boy sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Entahlah. Aku ikuti saja apa katamu.” Boy tersenyum geli. 
Latihan lari dan fitness dilakukan selama seminggu. Sampai akhirnya, Boy merasa yakin bahwa aku sudah dalam kondisi layak untuk melaksanakan operasi. Kemudian dia membawaku ke sebuah gedung perkantoran di kawasan Rafless.  Kami menggunakan lift menuju lantai sembilanbelas. 
Di lantai itu, terdapat sebuah ruangan kantor tanpa papan nama. Kantor itu tidak berpenghuni. Di dalamnya hanya ada beberapa sekat pembagi ruangan. Untuk masuk ke dalam, dibutuhkan sebuah kartu magnetic. Di salah satu ruangan terdapat ruang rapat dengan empat kursi. Ada sebuah meja kecil di samping meja rapat, dengan sebuah PC di atasnya.
“Mengapa kita kemari?” tanyaku bingung.
“Tempat ini adalah simulasi dari ruangan Private Banking yang akan kamu susupi.”
“Oh!”
“Sekarang kita akan mulai simulasi, dari sejak kamu naik lift sampai masuk ke dalam ruangan ini, dengan beberapa kemungkinan yang akan kamu hadapi. Itu akan kita hitung waktunya. Kemudian kita akan lihat kecepatan kamu mengakses LAN Bank untuk masuk ke dalam back office,” kata Boy.
“Bagaimana kamu bisa tahu lift itu akan segera terbuka ketika aku datang ke bank? Dan bagaimana kamu tahu mereka juga akan segera mengizinkanku masuk ke dalam ruangan rapat, ketika datang? Dan bagaimana kamu tahu lift akan segera terbuka ketika aku mau turun?” tanyaku beruntun.
“Kamu akan masuk lima menit setelah jam istirahat kantor. Saat itu, salah satu lift akan rusak sementara. Jadi tidak akan menimbulkan kegaduhan. Teamku sudah mengaturnya. Ketika sampai di lantai sembilanbelas, akan ada petugas yang menerima kamu di luar ruangan. Lalu, dia akan membawamu ke ruangan private banking setelah kamu perlihatkan bank draft. 
Setelah berhasil masuk ke dalam, petugas akan membawamu ke ruang meeting untuk membahas rencana tentang bank draft itu. Kemudian, dia akan pergi ke ruang dealing room untuk memverifikasi bank draft tadi. 
Nah, saat itu, kamu hanya punya waktu kurang dari 10 menit untuk mengakses LAN-nya, dengan PC di ruang meeting tadi.” Boy menjelaskan dengan teliti.
Boy duduk di ruangan simulasi, meeting room. “Setelah beraksi dengan PC tadi, kamu harus keluar dari ruangan itu dengan alasan mau ke toilet. Karena setelah 30 menit, mereka akan mengetahui bahwa LAN-nya disusupi orang lain. Ini berbahaya. Jadi usahakan agar kamu cepat keluar. Lift akan segera terbuka dengan menekan lima kali tombol tanda turun. Gunakan Lift nomor 3. Ok?”
“Bagaimana dengan kamera?” tanyaku sedikit gentar.
“Tidak usah khawatir. Itu sudah diatur oleh team kami. Kamu lakukan saja urutan operasi ini.”
“Ok.”
Latihan simulasi itu dilakukan berkali-kali. Sampai akhirnya Boy merasa puas dengan waktu yang kucapai.
“Ok. Latihan selesai sampai di sini.”
“Kapan operasi ini akan kita laksanakan?” tanyaku sembari menatap Boy. 
“Setelah Madam Lyan bertemu denganmu.”
“Madam Lyan?”
“Ya. Besok dia akan datang kemari. Kamu dijadwalkan makan malam bersamanya.”
“Bersamamu?”
“Tidak,” jawab Boy tersenyum. “Hanya kamu dan Madam.”
“Jadi, besok siang kamu bisa istirahat yang cukup. Karena lusa kamu akan mengeksekusi operasi ini,” lanjut Boy.

“Siap, Bos!” seruku sambil menempelkan lima jari di kepalaku, memberi hormat dengan sikap sempurna. Kami pun berpelukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...