Senin, 23 Januari 2017

Memburu Harta ( 20)


Pagi-pagi sekali, aku terbangun dengan perasaan segar. Aku duduk di teras rumah, menikmati hangatnya mentari pagi. Melalui telepon aku menghubungi Fund Manager-ku di Singapura untuk mengatur proses pengiriman dana ke lending bank melalui rekening off-shore milikku. Dana ini digunakan untuk penyelesaian hutang Budiman di Bank  di Singapore. Aku bersyukur SBLC yang pernah diberikan Tomasi  untuk membantu Budiman mendapatkan pinjaman, dapat diselesaikan tanpa resiko apapun. SBLC tidak terancam di collect.
Ada keinginan untuk menelepon Amir, namun segera kuurungkan. Teringat pertemuan kami yang lalu di Hong Kong. Namun pikiranku masih terus  kepada Amir dan tanpa diduga, telepon selularku berdering. Nampak di layar, tertera nama Amir.
“Hi, Jak.”
“Ya, Amir.”
“Kamu baik-baik saja kan?”
“Tentu. Gimana kabarmu?”
“Aku baik juga. Oh, lupakan pembicaraan kita tempo hari di Hong Kong. Aku pikir kamu punya hak untuk menentukan sikap,” kata Amir.
“Terima kasih. Aku sudah lupakan, kok.”
“Gimana kalau malam ini kita ketemu?”
“Apa ada yang penting?”
“Ah enggak. Aku cuma ingin ajak kamu makan malam bersama teman? Ayolah. Di tempat biasa.” 
Aku tahu bahwa Amir selalu menikmati makan malamnya di American Club, maka aku segera menjawab, “Ok!”
“Ok, Bye..”
Malam itu, di American Club. Ini kali pertama aku bertemu dengan Robert. Sebelumnya aku hanya mengenal Robert dari media massa, sebagai pejabat tingkat tinggi lembaga multilateral. Berperan sebagai dokter ekonomi bagi negeriku yang sedang dirudung penyakit kanker.
“Kenalkan, ini temanku,” kata Amir kepada Robert dan dia langsung menjabat tanganku erat. “Dia teman kuliahku dulu,” lanjut Amir.
“Oh ya? Senang bertemu dengan Anda,” kata Robert sambil tersenyum.
“Jak, kenalkan, ini Robert. Dia perwakilan lembaga multilateral keuangan di sini,” Amir tersenyum ramah, saat memperkenalkan sahabatnya itu padaku.
Makan malam kami awali dengan basa basi. Tidak ada perbincangan yang begitu berarti. Tapi setidaknya, aku senang hubungan persahabatanku dengan Amir tetap terjalin. Dan Amir juga tidak pernah lagi menyinggung soal transaksiku. 
Robert sendiri lebih asyik membicarakan soal wanita dan seks. Dan jujur saja, hal itu yang membuat aku kurang bersimpati padanya. Namun, aku berusaha tetap bersikap ramah. mencoba memulai diskusi sedernana dengan Robert.
“Aku tidak mengerti mengapa begitu banyak bantuan yang diberikan IMF dan World Bank kepada negara ketiga, tapi tampaknya negara-negara itu justru makin jatuh dalam kubangan kemiskinan.”
“Untuk Anda ketahui, bahwa tujuan di balik program-program investasi, pinjaman dan bantuan ini, bukanlah untuk membantu. Tidak ada tujuan kita untuk membantu. Itu salah pengertian. Tujuan dari program-program ini adalah untuk melayani kepentingan-kepentingan pemilik modal global, yang notabenenya menguasai delapan puluh persen dana global. Tugas kami hanyalah melayani segelintir pemilik modal di planet bumi ini, bukan kepada pengemis modal. Walau pun mereka itu mayoritas penduduk dunia!”
“Oh begitu. Senang sekali mendapatkan pencerahan yang tak politis ini dari Anda,” kataku. " Itu sebabnya, dana yang diberikan bukan malah membantu, tapi justru membebani. Sebuah negara miskin yang meminjam dana dari Bank Dunia, jika negara itu tidak mampu membayar bunga tinggi karena ekspor yang menurun atau alasan lain, maka negara itu akan meminjam kembali, kali ini kepada IMF. Tapi IMF justru akan memaksakan penerapan sebuah program penyesuaian struktur, yang mensyaratkan negara penghutang untuk memberikan penghapusan pajak sementara kepada para korporasi-korporasi besar lintas-negara, mengurangi upah buruh, dan tidak melindungi produk-produk lokal dari penetrasi produk-produk impor. Serta memfasilitasi pengalihan saham-saham perusahaan negara kepada investor asing. 
Negara penghutang akan ditekan untuk melakukan privatisasi perusahaan tambang, kereta-api, listrik, telekomunikasi, dan air bersih milik negara menjadi perusahaan-perusahaan swasta. Negara-negara penghutang dipaksa untuk membuka lahan hutan dan tanah mereka untuk pertambangan, tanpa peduli dengan potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi. Negara-negara ini juga harus memotong subsidi masyarakat dalam bidang kesehatan, pendidikan, transportasi dan ketahanan pangan. Atau dengan kata lain, berusaha mengurangi pengeluaran untuk rakyat sendiri demi mengumpulkan uang untuk pembayaran hutang-hutang mereka. Dengan bahasa bijak yang sering kita dengar, penghematan.
Negara-negara ini pun disyaratkan untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang mudah diperdagangkan untuk mendapatkan pendapatan dari hasil ekspor, sehingga tanah untuk menghasilkan makanan bagi rakyat negara itu sendiri menjadi berkurang. Hal ini berlangsung di seluruh negara-negara dunia ketiga, di mana pendapatan riil telah turun, dan hutang negara melonjak ke titik di mana pembayaran hutang menyerap hampir seluruh pendapatan negara dari hasil ekspor. Alih-alih membantu, mereka justru menciptakan jurang kemiskinan yang lebih dalam dan luas, karena negara penghutang semakin kehilangan kemampuannya untuk menyediakan kebutuhan rakyatnya,” lanjutku
“Tepat sekali. Apa yang Anda ceritakan itu adalah kebijakan business biasa untuk meningkatkan nilai dari modal yang keluar,” Robert membenarkan alasanku sambil senyum tanpa risih, walau di depannya duduk seorang pejabat negara yang sebenarnya bertugas membela rakyat miskin.
“Apa pendapat Anda soal sikap para kritikus yang menginginkan hubungan kerja dengan lembaga Anda dibubarkan?” tanyaku.
Robert tersenyum. “Kritikus itu bodoh! Tidak melihat permasalahan yang sebenarnya. Lembaga ini hanya soal nama dan bukan pemain. Penguasa sebenarnya adalah dana. Jadi, bubar atau tidak hubungan kerja dengan lembaga kami, sifat pemilik uang di dunia ini akan selalu sama. Katakanlah, seandainya kebijakan negara Anda beralih ke pasar uang lewat penerbitan obligasi untuk mendapatkan modal, sesungguhnya tidak ada bedanya dengan menerima dana dari lembaga kami. 
Karena tentu Anda membutuhkan underwriter  dari korporasi keuangan global agar obligasi Anda laku di pasar. Dan mereka pun akan meminta syarat-syarat yang tidak berbeda dengan apa yang kami minta. Jadi berhentilah mengkritik, tapi berusahalah realistis bahwa money is the King!” jawab Robert dengan yakin.
“Mir!” seruku. “Kalau begitu rakyat harus disadarkan bahwa tidak ada kebijaksanaan yang berpihak kepada rakyat miskin, dari sistem kapitalisme ini. Kapitalis memang sengaja menciptakan sistem yang tak berkeadilan dan korup. Dan di tengah ketidakberdayaan negara kita melawan situasi, maka perang melawan sistem tak berkeadilan ini harus disebarluaskan menjadi gerakan revolusi bersama, yang akan mengobarkan kesadaran kepada rakyat hingga tergerak untuk bangkit melawan. Cara yang akan ditempuh bukan melalui revolusi fisik tapi revolusi pemahaman agama secara hakikat di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Upaya inilah yang akan mengorganisir masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dari jeratan sistem kemiskinan yang dibuat kapitalis. 
Masa depan adalah ketidakpastian, itulah yang diyakini umat  Islam sebagai hak Tuhan. Maka seharusnya fitrah ini yang dijadikan dasar bagi umat Islam untuk melaksanakan kegiatan ekonomi mereka, sebagai sebuah kegiatan kolektif untuk mengelola resiko ketidakpastian itu. Seluruh potensi umat diarahkan pada peperangan tiada akhir melawan kekufuran, melawan musuh yang menghalangi misi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan misi seorang muslim sebagai khalifatullah fil ardh. Dengan demikian. relevansi agama tentang akhlak mulia akan menjadi segala-galanya, mengalahkan hawa nafsu dan gelapnya bisikan setan. Inilah yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi lain, sebagai dasar untuk menciptakan kemakmuran.”
“Tapi, maaf, aku khawatir sikap seperti Anda inilah yang akhirnya melahirkan radikalisme agama dalam bentuk terorisme,” Robert menyela kata-kataku yang ditujukan kepada Amir.
Kutatap tajam kedua mata Robert. “Dengar!” suaraku agak meninggi. “Persepsi orang bahwa Islam identik dengan terorisme adalah salah. Yang dipandang sebagai musuh adalah kekufuran, maka termasuk juga kekuatan yang mendukung implementasi kekufuran, mempertahankan atau mempromosikan sistem kufur. Kalau kekufuran diibaratkan sebagai kemiskinan, maka Islam tidak memerangi orang-orang miskin, namun memerangi kemiskinan. Dan berarti, juga orang-orang yang membuat kemiskinan terus terjadi. Yaitu orang-orang yang terus berbuat kerusakan dan kezaliman dengan menciptakan sistem yang tidak berkeadilan di semua sektor kehidupan! Dalam hubungannya dengan orang-orang Yahudi dan Kristen, Islam tidak pernah melegitimate untuk memerangi mereka atas alasan perbedaan agama. Justru di dalam komunitas Islam, mereka bisa menikmati perlindungan yang tidak pernah mereka temukan sebelumnya dari komunitas lain. 
Jadi ketidakadilan sistem yang menjadi musuh Islam sesungguhnya. Dan bukan karena perbedaan agama. Juga, kami tidak berperang dengan menggunakan teror, tapi dakwah dengan hikmah dan kasih sayang. Meski kadang, bisa juga berbentuk perjuangan dengan mengangkat senjata, perjanjian damai atau dialog berbagi nasehat.”
“Wah, kok jadi serius pembicaraannya. Santai ajalah,” Amir tersenyum kepada kami, berusaha menetralisir keadaan.
“Temanmu ini, sangat realitis,” kata Robert.
“Begitupula dengan Anda. Aku juga senang mendengar kejujuran Anda tentang kapitalisme,” jawabku enteng dan segera mengakhiri makan malam itu lalu beranjak pulang. Walau Amir bersikeras untuk tetap bersama menikmati wine dan alunan musik di kafe, namun aku tetap memaksa pulang dengan alasan istriku sudah menunggu di rumah. Amir mengantar sampai pintu keluar. “Jak, terima kasih untuk kedatangannya,” kata Amir sambil memelukku erat.
“Terima kasih juga untuk makan malamnya,” Aku menimpali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Mengapa negara gagal ?

  Dalam buku   Why Nations Fail  , Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa pembangunan ekonomi dan kemakmuran atau kemiskinan suatu negara d...